Tanya :
Pak Mirza, saya pernah diberi
kepercayaan mengelola sebuah cafe kecil. Milik seorang bapak yang buatkan cafe
ini untuk anaknya. Secara keseluruhan cafe berjalan lancar, hanya pada suatu
saat saya harus cuti agak panjang sekitar seminggu karena ibu sakit di daerah.
Itupun saya sudah minta ijin cuti kepada anaknya.
Tapi pada saat saya kembali,
ternyata saya sudah dipecat. Sudah ada pengganti saya. Bahkan isyunya bahwa
saya tidak pernah membuat laporan bulanan, ada kasbon yang tidak pernah
dibayar, tamu tamu yang datang karena kerja anaknya, intinya keberadaan saya di
cafe tsb tidak ada gunanya. Padahal semua itu tidak benar. Memang saya tidak
pernah melapor langsung ke bapaknya sebagai pemilik usaha, tapi hanya ke anaknya
saja yang memang ditempatkan di cafe urusan operasional.
Saya jadi seperti dicampakan begitu
saja, tidak diperlakukan secara adil, bahkan nama baik saya jadi rusak, karena
kabar tidak benar tsb tersebar juga kemana mana, mungkin dari karyawan yang dapat
info tidak benar dari anak pemilik cafe.
Lalu bagaimana saya harus bersikap?
Mohon pencerahannya.
Jawab:
Wah, ini betul betul persoalan
klasik yang biasa dihadapi oleh pengelola sebuah bisnis dalam hal ini cafe
dalam lingkup bisnis keluarga. Jangan khawatir, banyak pengelola lain juga
menghadapi masalah ini. Dicurangi oleh anak atau keponakan atau saudara dari
pemilik usaha itu sendiri, pada saat dia merasa pemilik (baca:orang tua) lebih
percaya kepada orang lain (baca:pengelola) dibanding anak atau saudara sendiri.
Anak juga manusia biasa, punya harga diri, punya ke'aku'an, punya rasa iri juga
rendah diri, atau justru punya harga diri : kalau saja saya diberi kesempatan
maka saya bisa buktikan kalau saya juga mampu.
Yang bahaya kalau motifnya semata
hanya uang. Kalau seluruh keuntungan bisa saya dapat 100% buat apa saya bagi
bagi kepada pengelola sebagai prosentase fee. Maka kecurangan bisa saja dia
lakukan secara sistemik dan terencana dengan tujuan akhir menjatuhkan nama baik
pengelola di hadapan pemilik, menggerus kepercayaan pemilik terhadap pengelola,
bahkan jika mungkin membangun persepsi bahwa pengelola mulai melakukan beberapa
kecurangan dalam bisnis. Pada akhirnya berakhir pada pemutusan hubungan kerja
pengelolaan profesional dan seluruh kewenangan bisnis jatuh ke tangan anaknya.
Misalnya dengan tidak pernah
melaporkan laporan bulanan yang sudah setiap bulan dibuat oleh pengelola,
menambah dan mengurangi laporan keuangan yang sudah dibuat pengelola, menyalah
sampaikan maksud dari kebijakan yang dibuat oleh pengelola dalam bisnis dan
SDM, bahkan paling jahat bisa saja anak tsb menggunakan uang atas nama
perusahaan padahal uangnya tidak digunakan untuk kepentingan bisnis. Tentu saja
jika ayahnya menanyakan uangnya dipakai untuk apa, maka jawabannya atas
instruksi pengelola. Bahayanya jika si bapak selama ini hanya menerima afirmasi
dari si anak yang diberi kuasa kelola tapi tidak pernah mengkonfirmasi
informasi tsb ke pengelola langsung. Akibatnya makin lama jelas saja pemilik
usaha akan kehilangan kepercayaan kepada pengelola, sedangkan pihak pengelola
jadi bingung sendiri kenapa sikap pemilik usaha makin hari makin negatif
terhadap dirinya.
Kalau saja pemilik usaha
mengkonfirmasi lebih dulu apakah semua informasi yang disampaikan oleh anaknya
terkait kinerja pengelola di perusahaan benar adanya, maka mungkin tidak sampai
pengelola diberhentikan tanpa diberi waktu untuk menjelaskan duduk
permasalahannya. Misalnya apakah betul pengelola tidak pernah membuat laporan
bulanan, apakah betul tanggal sekian ada pengambilan tunai dr kas untuk
keperluan ini, dll berdasarkan informasi yang diterima pemilik sepihak dari
anaknya, apakah betul selama ini tidak pernah ada pembagian hasil usaha, apakah
betul jika selama ini klien atau konsumen hanya didapat dari hasil kerja si
anak. Bahkan jika perlu konfrontasikan langsung antara pengelola dan anaknya
untuk kebenarannya.
Memang ujung ujungnya pasti orangtua
tidak akan menjatuhkan anaknya secara langsung di depan orang lain diluar
keluarganya. Itulah salah satu sisi kurangnya bisnis keluarga, apalagi jika
pemilik usahanya adalah orang yang kurang bijaksana, maka segala keputusan
hanya diputuskan di lingkar anggota keluarga dan yang punya suara terbesar baik
benar ataupun benar tapi dibengkokan sehingga menjadi salah..ya tetap di pihak
keluarga. Salah mendapat informasi, maka pemilik usaha akan salah mengambil
keputusan.
Kesalahan ini kadang baru bisa
disesali setelah beberapa waktu kemudian, pada saat tabiat jelek anaknya mulai
terbuka, pada saat kinerja usaha tidak jadi lebih baik dibanding pada saat
ditangani oleh pengelola yang sudah dipecat, pada saat ternyata jumlah tamu
tidak bertambah bahkan cenderung makin berkurang. Bisnis secara
keseluruhan kenyataannya cenderung berjalan mundur, bukannya makin membaik.
Ada dasarnya kenapa seseorang bisa
disebut pengelola atau bahkan konsultan, karena memang seharusnya dia memiliki
skill kompetensi terbukti di bidang pengelolaan, misalnya sudah berpengalaman
minimal 5 tahun di operasional cafe. Maka ada saatnya walaupun hanya 6 bulan
ikut harian operasional, belajar langsung dengan mengamati, lalu si anak
memproklamirkan diri: mudah saja ternyata mengelola cafe kalau hanya seperti
ini, saya juga bisa sendiri tanpa harus ada pengelola dari pihak luar. Padahal "jiwa"
dari usaha cafe tsb sama sekali belum dimiliki si Anak.
Akhirnya karena memang belum matang
dengan asam garam bisnis begitu ditimpa 2-3x masalah bisnis sudah limbung dan
menyerah. Dia jelas tidak akan terlalu masalah karena toh ini uang bapaknya
juga. Sedrastis apalah tindakan seorang bapak kepada anaknya yang gagal
mengembalikan investasi bisnis buat dia, yah paling sebatas kecewa, selesai.
Setelah itu akan dilupakan bahkan dipersiapkan dana lagi untuk pindah ke usaha
berikutnya. Mengulang kembali kesalahan yang sama.
Tapi kegagalan mengelola bisnis bagi
seorang pengelola profesional bisa sangat mengganggu pikiran. Selain nama baik
kompetensi jadi rusak juga tanggung jawab moril terhadap bisnis yang sudah
dipercayakan ke dia. Jauh beda mindset usaha yang diserah kelolakan kepada
seorang pengelola profesional dan kepada seorang anak. Tapi penting juga
dipahami bahwa tidak semua anak pengusaha memiliki mindset dan attitude seperti
diatas dalam memandang bisnis keluarga. Banyak juga anak pengusaha yang betul betul
amanah dan cerdas juga bijaksana mengelola bisnis yang dipercayakan keluarga
kepadanya. Kalaupun dia belajar dari seorang pengelola atau konsultan, maka
akan dipelajari sedalam dalamnya sampai mendapat jiwa dari bisnis itu sendiri
dan itu butuh waktu yang tidak sebentar dan dia bersabar untuj jalani
prosesnya. Jadi mungkin ini kebetulan Anda sedang bernasib kurang baik,
mendapatkan bisnis dengan partner yang belum rejeki Anda saja.
Tidak ada yang bisa saya
sampaikan selain tetaplah menjadi orang baik dan profesional yang kompeten.
Rejeki datang darimana saja. Satu pintu tertutup, maka pintu lain bisa saja
terbuka. Anda masih punya waktu dan kesempatan untuk memulihkan nama baik Anda.
Percayalah pada Alloh SWT bahwa pada akhirnya kebenaran akan terlihat dan tetap
harum dan yang mencelakakan Anda akan kena karmanya.
SEMANGAT SUKES
(Mirza A.Muthi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar