Minggu, 01 Mei 2011

BUBBLE FENOMENA

TANYA :"BUBBLE FENOMENA"


Yth Pak Mirza

Saya sering mendengar perusahaan yang belum pernah terdengar sebelumnya lalu langsung mendadak terkenal dan beberapa tahun kemudian mendadak hancur lebur lagi. Kenapa bisa begitu ya? Kira kira apa penyebab utamanya. Kami ber 5 sedang merintis membuka usaha dengan perusahaan saham patungan dan dari awal kami berusaha mengantisipasi hal hal seperti di atas agar tidak terjadi. Terimakasih

Widya-Cirebon

JAWAB:

Apa khabar Mba Widya, bagus sekali memulai usaha bersama dengan kawan kawan. Pasti nanti akan sukses ya. Mengantisipasi segala kemungkinan terburuk dalam memulai usaha memang perlu, tapi jangan malah nanti terbebani dan akhirnya tidak berani. MEMULAI adalah kata kunci pertama. Kalau kita tidak pernah memulai maka kita tidak akan tahu apa apa saja yang dibutuhkan kita untuk bisa maju. Semangat sukses ya.

Mengenai pertanyaan Mba Widya, inilah disebut fenomena BUBBLE : Menggelembung dengan cepat lalu meletus dan hilang tanpa sisa. Tragis ya. Kalau balon busa memang bisa yang hilang tanpa sisa, tapi kalau usaha/ bisnis bisa hilang, tapi tetap meninggalkan hutang dan masalah. Pernah dengar istilah, musuh terberat seseorang adalah diri sendiri? Maka begitulah juga musuh terbesar perusahaan sukses adalah karyawan sendiri. Justru bukan competitor atau kondisi pasar. Kenapa begitu? Coba perhatikan kronologisnya. Bisnis dibangun dengan susah payah oleh founder perusahaan dan karyawan karyawan inti terpilih. Tentunya untuk mendapatkan karyawan terpilih ini tidak gampang, setelah melalui beberapa kali bongkar pasang baru bisa dapat karyawan karyawan yang terpilih, satu visi misi dan terpenting memang punya keahlian spesifik di bidang masing masing yang bisa sinergi untuk mewujudkan cita cita menuju perusahaan yang berhasil dan terpandang.


Simsalabim..ternyata itu berhasil. Hanya dalam tempo 3 – 5 tahun perusahaan itu jadi perusahaan sangat terkenal. Dari “Nothing” menjadi “Something”. Dari tidak diperhitungkan oleh competitor, menjadi referensi penting competitor dan pebisnis next generation yang ingin membuka jenis bisnis yang sama. Tentunya kemajuan perusahaan berbanding lurus dengan income perusahaan. Perusahaan makin besar, cabang makin banyak, karyawan makin banyak. Omzet makin baik dan ini tidak bisa ditutup tutupi. Orang luar saja bisa menilai dan kagum dengan kesuksesan ini, apalagi orang dalam perusahaan termasuk para karyawan inti ini dan juga seluruh karyawan perusahaan. Owner ownernya tentu makin kaya dan makmur. TAPI APAKAH KESEJAHTERAAN KARYAWAN JUGA IKUT MENINGKAT ? Ini yang jadi pertanyaan besar dan akar dari kehancuran perusahaan.

Jadi kalau perusahaan Mba Widya nanti menjadi sukses dan besar, jangan pernah menikmati kemakmuran sebatas hanya di kalangan para owner sementara karyawan tetap terpinggirkan dalam kondisi ekonomi yang kurang mengalami peningkatan sejak awal perusahaan dibangun. Apalagi untuk karyawan Inti yang memang memiliki skill yang memiliki peran besar dalam memajukan perusahaan tentunya memiliki “posisi tawar” yang tinggi di pasaran professional. Buat mereka, perusahaan-lah yang butuh mereka, bukan mereka yang butuh kerja di perusahaan. Karena di luar sana banyak perusahaan yang ingin karyawan expert skilled tersebut begabung dengan mereka. Kalau karyawan inti ini merasa tidak diperhatikan sebagaimana prestasinya dan akhirnya memutuskan keluar dari perusahaan, akan berat bagi perusahaan untuk menjaga kestabilan usahanya sama seperti dulu. Apalagi para karyawan inti ini juga membuka bisnis sejenis yang jelas jelas akan menjadi competitor tangguh di bisnis sejenis karena semua “kunci sukses” perusahaan akan dicopy paste di perusahaan baru yang menerimanya kerja dengan kompensasi yang jauh lebih memuaskan.

Jika ini terjadi, maka terjadilah bencana BUBBLE yang meletus. Perusahaan yang ajaib ini hancur karena ditinggal karyawan karyawan kunci yang tidak nyaman karena merasa para owner meninggalkan mereka setelah perusahaan dengan susah payah mereka ikut sukseskan. Karyawan juga manusia biasa, jangan menganggap mereka tidak punya loyalitas terhadap perusahaan. Apalagi para professional ini bukan orang kecil yang bodoh, yang bisa terpuaskan hanya dengan gaji di bawah standard pasaran untuk levelnya dan tambahan bonus atau komisi kecil kecil yang owner sebut sebagai “tambahan”. Sementara di luar perusahaan “undangan yang menggoda” sudah sangat mengganggu konsentrasi kerja untuk segera merubah keadaan sendiri jika perusahaan sekarang tidak bisa membantu merubah keadaan ekonomi mereka. Jangan salahkan kalau karyawan pindah bekerja karena kebutuhannya tidak bisa dipenuhi di perusahaan ini. Jadi mungkin cukup jelas bagi Mba Widya, dan saya yakin Mba Widya nanti sebagai pemilik perusahaan akan lebih bijaksana mengelola kesejahteraan karyawan.

Memang tidak semua kehancuran perusahaan terjadi karena masalah ini. Bisa juga mismanagement, atau misleading dalam mengarahkan tujuan utama perusahaan. Tapi jika pertanyaan Mba Widya merujuk kepada perusahaan yang bisa sukses secara cepat  lalu mendadak hancur, maka rata rata masalahnya justru di kurang seimbangnya penghargaan terhadap karyawan inti.  Kegagalan perusahaan lain jadikan pelajaran, Mba Widya tidak harus mengalaminya sendiri untuk bisa menjadi tahu bagaimana rasanya hancur. Tapi jangan jadi penghalang untuk memulai membentuk perusahaan sendiri. Lanjutkan cita cita Mba Widya dan kawan kawan untuk membuat perusahaan sendiri yang lebih baik dan lebih sukses dan tetap berkesinambungan.

SEMANGAT SUKSES ( Mirza A.Muthi )